Jakarta, TAMBANG – Indonesia sedang mempersiapkan berbagai aspek untuk memulai produksi logam tanah jarang (LTJ) atau unsur tanah jarang (REE), mulai dari penyusunan peraturan, penghitungan sumber daya dan cadangan, hingga pemetaan sebarannya.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Industri Mineral Brian Yuliarto yang juga menjabat sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pada Seminar Logam Tanah Jarang yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB, di Bandung, Sabtu, (1/11).
“Semuanya sedang kami persiapkan mulai dari regulasi, lalu menghitung sumber daya yang dimiliki Indonesia, komposisinya seperti apa, distribusinya seperti apa. Saat ini kami juga sedang memulai kajian proses produksi, pemisahan, dan pemurnian logam tanah jarang,” ujarnya.
Brian menjelaskan, berbagai hasil inventarisasi para peneliti di Indonesia yang telah melakukan pemisahan dan pemurnian logam tanah jarang saat ini sedang dikumpulkan dan dipelajari lebih lanjut. Ia menambahkan, sejumlah negara diketahui tertutup akses terhadap teknologi pengolahan logam tanah jarang.
“Berbagai inventarisasi telah kami kumpulkan dari para peneliti di Indonesia yang pernah bekerja di bidang pemisahan dan pemurnian. Bagaimana kita memahami bahwa beberapa negara sudah menutup teknologi terkait logam tanah jarang,” imbuhnya.
Oleh karena itu, meski Indonesia terus menjaga komunikasi dengan negara-negara tersebut, namun upaya pembangunan tetap dilakukan dengan mengandalkan teknologi yang telah dikuasai para peneliti dalam negeri.
“Meskipun kami melakukan pembicaraan dengan mereka, kami tetap menggunakan teknologi yang telah dikuasai para peneliti Indonesia,” imbuhnya.
Saat ini pemerintah sedang menghitung potensi logam tanah jarang di Indonesia. Brian mengatakan, ada tiga sumber utama yang menjadi fokus penelitian. Sumber pertama merupakan sumber primer yang sebagian datanya telah dihasilkan oleh Badan Geologi dan saat ini dalam tahap survei lanjutan.
“Saat ini kami sedang melakukan perhitungan karena potensi logam tanah jarang sebenarnya ada tiga sumber, yang pertama sumber primer, beberapa knowledge sudah dihasilkan badan geologi dan sedang disurvei,” jelasnya.
Sumber kedua, kata Brian, merupakan sumber sekunder yaitu berasal dari tailing atau sisa produksi mineral utama seperti timah, nikel, bauksit, dan FABA (abu terbang abu dasar).
Kedua sumber sekunder ini, sumber daya sekunder berasal dari tailing atau sisa produksi mineral utama yaitu timah, nikel, bauksit, FABA, ujarnya.
Semua potensi ini sedang diperhitungkan dan diverifikasi untuk memastikan besarnya sumber daya logam tanah jarang di Indonesia. Hasil perhitungannya ditargetkan bisa diumumkan pada November atau awal Desember.
“Jadi semuanya akan kita hitung lagi, kita pastikan, saya kira sekitar bulan November atau awal Desember kita akan umumkan berapa sebenarnya sumber daya yang kita miliki,” jelas Brian.
Sementara itu, Rektor ITB Tata Cipta Dirgantara mengatakan, pihaknya menyatakan siap mendukung pengembangan logam tanah jarang melalui dua aspek utama, yakni penyediaan teknologi dan penguatan sumber daya manusia.
“Menanggapi pernyataan Menteri tersebut, tentunya ITB akan memberikan dua hal, pertama teknologi dan kedua sumber daya manusia,” ujarnya.
Dikatakannya, sebagai institusi pendidikan tinggi, ITB meyakini peran perguruan tinggi tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus berkolaborasi dengan industri dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Semangat kemandirian teknologi juga ditegaskan, sejalan dengan pesan Menteri bahwa jika negara lain enggan berbagi teknologi, maka Indonesia harus bisa menguasainya sendiri.
“Kita juga tidak bisa bekerja sendiri, kita bersinergi dengan industri, dengan seluruh pemangku kepentingan karena seperti yang disampaikan Pak Menteri, kalau ada orang lain yang tidak mau memberikan, kita akan kendalikan,” tutupnya.












